Wednesday, January 17, 2007

"All Bikers Are Brothers"

Jargon yg gw daulat sebagai judul di atas diambil dari komentar salah satu teman yg tak bosan-bosannya menggagas inspirasi agar kami, para pengguna sepeda motor mengambil aksi nyata terhadap ketidak-adilan yg kami terima akhir-akhir ini.

Buat yg suka nonton Metro Hari Ini (gw contohnya, yg pertama kali dilakukan pas masuk kamar, setelah membuka sepatu, atau kalau jam setengah enam sudah sampai, Liputan Enam), tentu tahu dengan peraturan lampu motor untuk nyala di siang hari, dan jalan di jalur kiri, DAN kemungkinan motor dilarang masuk jalan protokol. I personally, ga perduli dengan aturan2 tersebut. Pendeknya, apapun yg pak Sutiyoso dan kru-nya canangkan untuk kami, pengguna motor, akan saya patuhi. Daripada capek-capek buang energi 'melakukan aksi nyata' tanpa hasil, mending waktunya buat baca buku atau nonton film. Lebih bisa mendapat informasi baru.

Anyway, i won't berate about the rules, but more to the jargon which i quote above, "All Bikers are Brothers". Was it? Well, hari ini ada kejadian yg berkaitan dengannya.

Gw menempuh perjalanan selama +/- 40 menit sehari-harinya untuk pergi atau pulang dari kantor. Empat puluh menit dan rute yg sama (kecuali kalo gw lagi pengen mampir ke Kinokuniya buat beli buku, atau ke Blok M Plaza buat nonton film, which is sebenernya ga terlalu mengubah rute), bosen nggak sih? tentu saja. Tapi akhir2 ini ada aja kejadian baru yg more or less memberi variasi.

Hari Jum'at, gw tes bahasa Inggris di salah satu bank nasional. Paginya, gw kecelakaan. Gw sih merasanya karena terlalu kencang, ngerem di jalan berpasir, oleng, dan jatuh menggelinding. Tapi, kata abang2 penjaga warung rokok yg menolong, gw diserempet mobil, bahkan nih, ada satu pengendara yg menawarkan jasa untuk mengejar mobil tersebut (dan kelihatannya sangat bersemangat). Jujur sih, gw ga ngerasa diserempet. Karena begitu bangun, satu2nya hal yg menjadi pikiran di benak gw adalah, "How the hell am i going to attend the test?". Tapi toh, akhirnya gw dateng juga buat tes. Mbak2 HRD-nya menawarkan untuk switch hari, karena gw datengnya pas tes dimulai. Gw ga mau, dan ikut tes hari itu juga, tentu saja dengan celana robek di kedua lutut, dan berdarah-darah (walaupun udah dikasih Betadin sama mbak-mbak HRD-nya). Malemnya gw iseng ke Rumah Sakit untuk dapet proper treatment. FYI, gw cuman lecet. Tapi ongkos berobat-nya mahal banget ya? Another lesson learned.

Hari Senin, gw tes psikologi di tempat yg sama. Paginya, mungkin aftermath dari kecelakaan gw kemaren, ban belakang gw bocor, bukan bocor ya, tapi ada satu masalah sama -apa-itu-namanya-tempat-nyolokin-selang-angin- yg terkuak. Alhasil ganti ban, untungnya bapak2 yg ngebenerin motor gw, tau betul gw lagi buru-buru dan bener2 cepet dalam menyelesaikan kerjaannya hari itu. Gw dateng terlambat kira-kira 11 menit, untungnya, ditungguin. Gw ditelpon sama bank tadi sesaat sebelum gw nyampe di gedung walikota Jaksel (which is 10 minutes from the location). But, alas, after all that troubles, i think i blew my chance by making a huge stupid-mistake during the interview. A mistake soooo stupid, that even if i'm the one who interviewed myself, i wouldn't hesitate to eliminate myself from the race. Yes, it was that stupid. And i just knew that it was stupid, when i re-enacted my interview experience with my girlfriend. Well, i've learned my lesson, anyway.

Hari ini, Rabu, ya, gw terlibat pertengkaran. Well, bukan pertengakaran sih, gw (mencoba) menengahi sebuah pertengkaran. You see, ada satu pertigaan berlampu yg hanya ramai dari dua arah di suatu waktu. Pertigaan ini mengarah ke Kemang, Buncit, dan Fatmawati. Kalau pagi, gw dateng dari Buncit ke arah Kemang. Dari Kemang hampir selalu sepi kalau pagi. Kalau sore, kebalikannya, dari Buncit hampir selalu sepi. Seperti biasa, kan, kalau lagi sepi, kita-kita para pengguna motor selalu dengan pede-nya menerobos lampu merah. Gw? gw ga pernah. Eh, beneran, gw udah cukup kenyang sama tilang. Udah tiga kali gw ditilang. Satu gara-gara nerobos jalur cepat di Semanggi, satu gara-gara temen gw ga pake helm waktu di Margonda, satu lagi gara-gara gw (bener-bener) lupa ga make jalur kiri sebelum Bundaran HI. Yah, pokoknya, gw paling sebel kalo ngeliat ada pengendara yg ga pake helm, atau nerobos lampu merah. I often give a finger to those who did. Ada saksinya yg cukup sering melihat gw melakukan hal ini.

Back to the topic, di pertigaan itu lagi lampu merah pas gw dateng, sebagai pengendara yg baik, gw berhenti dong, namun ada satu orang nih, mungkin gara-gara keasikan ngobrol sama pacarnya, dia nyelonong ke tengah. Nah, dari arah Kemang ada dua orang pengendara yg hendak belok ke Fatmawati. Mau dilihat dari manapun, si orang yg sedang ngobrol sama pacarnya ini yg salah. Nah, karena memang di desain supaya kita-kita yg dari Buncit berhenti agar mereka yg dari Kemang bisa belok ke Fatmawati, si orang yg sedang ngobrol sama pacarnya ini nyaris bertubrukan dengan mas-mas yg ternyata Marinir ini. Begonya, si orang yg sedang ngobrol sama pacarnya ini berhenti. Mungin dikiranya, "ah, gw kan pake Honda Tiger, dia kan cuman pake Yamaha, gw lebih jantan lah!". Nah, mas-mas Yamaha ga terima, akhirnya adu mulut tak terhindarkan. Si Honda akhirnya sadar kalo ternyata situasinya ga menguntungkan buat dia, dengan bijak, yg tentu saja beberapa puluh detik terlambat, dia minta maaf. Mas-mas Yamaha makin merasa di atas angin - mungkin karena dia baru lulus dari pendidikan Marinir jadinya cepet panas tapi lambat dingin, anyway, mohon diingat, ini cuman kesimpulan pribadi gw - dia turun dari motornya, dan berteriak sama si Honda, "Turun, Lo!", "Turun!". Wah, pokoknya seru, si Honda tentunya makin jiper. Pacarnya juga makin beringsut di balik mas-nya. Sementara itu, by the way, lampu dari arah Buncit udah hijau, dan jika kamu sering berkendara di Jakarta pasti tau betul kalo aturannya, begitu lampu hijau di perempatan atau pertigaan padat harus segera pencet klakson. Dan karena insiden Honda vs Yamaha ini terjadi di tengah-tengah pertigaan, arus dari Buncit ga bisa maju dong, makin keraslah tu bunyi klakson.

Gw, dengan pedenya, mungkin karena jargon "All Bikers are Brothers" itu tanpa kusadari ternyata secara tak sadar sudah merasuki alam bawah sadar gw, berhenti untuk menonton melerai. Well, pada akhirnya gw cuman menonton sih, soalnya banyak juga pengendara lain yg ikut-ikutan menonton melerai. Alhasil, pertigaan kecil itu jadi rame banget di tengah-tengah. Gw nonton ga sampai selesai by the way, bahkan ga sampai matiin mesin terus turun.. yah, pokoknya, dapet pelajaran lagi hari ini. 1) Jangan pernah berurusan dengan marinir muda yg kelihatannya lagi marah-marah, 2) Lampu merah bukan aksesoris jalanan, 3) Pacaran sama mengendara motor itu ga bisa dilakukan bersamaan, 4) All bikers are brothers, tapi bahkan brothers juga kadang-kadang bisa cekcok.

PS: Gw udah mulai bosan naik motor Depok - Blok M. Seandainya ada jalur busway Depok - Blok M, gw akan dengan sangat senang hati menngunakan jasanya meskipun misalnya gw harus membayar 10rb rupiah sekali jalan (20rb pp). FYI, ongkos gw naik motor Depok - Blok M itu 15rb buat tiga hari kerja.

Digg this

2 comments:

Anonymous said...

tulisan bagus, aku baca dari awal sampai selesai, tanpa melewati....

Rhama Arya Wibawa said...

Ah! Much appreciated! Sepanjang yg gw inget, baru ini ada yg terang2an memuji tulisan gw *hihihi*