Sinetron Malam (26 Desember 2006)
Sarapan buat saya adalah makan sambil memperhatikan mahasiswi-mahasiswi yang entah masih kucel karena baru bangun atau yang sudah segar dan bersiap pergi menuntut ilmu. Makan siang buat saya adalah makan dengan kolega kantor sambil membicarakan apapun yang lagi jadi tren saat ini. Dan makan malam buat saya adalah makan sambil nonton tivi. Tentu saja, dengan kualitas acara tivi sekarang ini, keberadaan remote dalam jangkauan tangan menjadi sesuatu hal yang esensial.
Tadi malam, seperti biasa, saya beli makan di luar dan memakannya sambil beringsut di depan tivi. Untungnya, tadi malam ada siaran bola. Tentu saja, ada kalanya selama 45 menit, ada beberapa saat di mana saya merasa bosan dan merasa perlu untuk berkeliling ke seluruh siaran yang ditawarkan. Pada salah satu perjalanan keliling siaran televisi, ada sebuah sinetron yang cukup mengganggu saya. Saya gak inget judul persisnya namun pastinya terdiri atas tiga kata penting berikut ini, "Ustadz", "Kawin", "Lagi". Ho ho, you gotta give a nod to those producers. Mereka benar-benar cepat menanggapi isu yang lagi tren. Beberapa waktu yang lalu saya juga sempat menangkap sebuah acara sinetron yang jelas-jelas terinspirasi dari peristiwa bocornya rekaman pribadi salah seorang anggota dewan. Saya berani taruhan bahwa sebentar lagi akan ada sinetron tentang seorang aktris yang dianggap baik oleh rekan-rekannya dan kemudian ditemukan mati di salah satu kamar hotel dengan indikasi overdosis. Hmm, apa sudah ada? Anyway, satu-satunya adegan yang saya lihat dari sinetron yang bersangkutan menampilkan sang aktor yang berperan menjadi ustadz memberi semacam wejangan kepada ibu-ibu warga senior dan salah seorang aktris yang menurut saya punya daya pikat di atas rata-rata aktris lainnya (saya gak inget namanya, cukup terkenal kok) di sebuah mushola (atau bangunan yang mirip mushola, saya gak inget). Berikut petikan wejangan sang ustadz yang saya coba berikan sepersis apa yang saya ingat. "Jadi saya ingin memberi contoh buat warga kampung sini, terutama ibu-ibu dan istri pertama saya.. bahwasanya.. poligami itu... bla bla bla.. sunah Rasul... bla bla bla... seperti dalam Al Qur'an... bla bla bla." Wejangan tersebut disampaikan sang aktor yang mengenakan surban, dengan suara yang sudah pasti dibuat-buat. Sedang sang aktris sendiri tampak sangat alim dengan pakaian panjang, dan jilbab warna lavender. Oh, sebentar, maaf, itu bukan jilbab, tapi rambut. Itu tadi adalah satu-satunya adegan yang saya lihat dari sinetron tersebut, tidak lebih dari tiga puluh detik, tapi cukup membuat saya kehilangan selera makan dan memutuskan untuk mengganti channel ke siaran bola dan tetap di channel tersebut sampai tengah malam.
Buat penggemar acara tivi tentu masih ingat dengan kejadian yang sempat merajai tayangan tivi dan menginvasi milis dan bulletin board dengan diskusi tanpa ujung yang berkaitan dengan tiga kata kunci judul sinetron yang sudah saya sebut di atas. Bukan bermaksut menggurui, tapi dari adegan yang saya cuplik dari sinetron ini menurut saya sangat misleading. Seakan-akan, poligami itu sesuatu yang dianjurkan, sunah, dan for lack of better words, baik.
CMIIW. Saya bukan ahli agama, atau semacamnya. Tapi saya cukup tahu, kalau satu-satunya ayat Al Qur'an yang berkaitan secara langsung dengan isu beristri lebih dari satu bukan sugestif, provokatif, ataupun sunnah. At best, menurut saya, hukum poligami sama kaya hukum merokok. Mubah. Boleh, dengan syarat yaitu mampu adil. Bisa adil? Saya ndak bisa, jadi buat saya poligami itu haram. Soal sunnah Rasul, saya ndak tahu pasti. Saya mencoba untuk pragmatis saja, sunnah Rasul buat saya adalah sesuatu yang dilakukan oleh Rasul. Apa Rasul poligami? iya. Tapi harap diingat bahwa menurut sejarah yang cukup sahih, selama beliau berkeluarga, sebagian besar tahunnya justru dilalui dengan monogami. Logika sederhananya, kalau memang beristri banyak itu sunnah (which means, berpahala jika dilakukan), kenapa Rasul mesti menunggu sekian puluh tahun dulu baru beristri banyak? Kesimpulan saya pribadi, saya cenderung tidak setuju dengan anggapan bahwa poligami itu sunnah.
Saya cukup yakin kalau ada di antara manusia yang bisa dengan adil membagi harta, atau waktu mereka di antara istri-istri yang ia miliki. Namun, pertanyaan yang paling penting, lagi-lagi menurut saya, justru adalah, bisa nggak adil hati? Kebanyakan orang tua, misalnya, pasti memiliki anak yang lebih diprioritaskan daripada anak yang lain. Saya jadi ingat film Ben-Hur. Di situ ada karakter Syeikh dari Mesir yang beristri banyak. Suatu hari, Syeikh ini bercerita pada si Ben-Hur bahwa setiap malam istri-istrinya selalu bertanya-tanya siapa yang disentuh duluan oleh si Syeikh ini. Buat saya pribadi, sentuhan itu sudah merupakan implementasi dari hati. Kalau saya tidak bisa menyentuh dua, tiga, atau empat orang sekaligus dengan tangan saya, berarti saya tidak bisa membagi hati ini menjadi dua, tiga, atau empat potongan yang sama. Which means, once again, buat saya, poligami itu haram.
Lalu, berkaitan dengan sang selebritis kita yang pernikahan keduanya menghebohkan masyarakat bahkan sampai ke istana Presiden, sikap saya seperti apa? Lepas dari sunnah atau tidaknya pernikahan keduanya tadi, saya sangat menyayangkan keputusan selebritis kita tersebut. Indikasinya sederhana, ketika beberapa waktu lalu footage mereka bertiga (him, his first wife, and his second wife) atau footage dari istri pertamanya tayang di televisi, dada saya sesak melihat sang istri pertama. Dan ini bukan lip service. I really wanted to cry and if allowed, embraced her to give as much as strengh i could give. Saya gak perlu tetek bengek pembenaran ini itu bahwa hal ini atau hal itu adalah sesuatu yang seperti ini atau seperti itu. Saya cukup melihat impact yang telah terjadi, merasakannya, dan lantas memutuskan untuk tidak simpatik kepada si pelaku.
Well, that settles it. Anyway lagi, Buku Harian Nayla tadi malam juga sudah tamat. Kemiripan ceritanya terhadap salah satu Dorama Jepang, Ichiritoru (One Litre of Tears) tidak membuat sinetron ini hilang popularitasnya. Malah dalam sebuah acara tivi (yang ditayangkan di stasiun yang sama dengan penayang sinetron jiplakan ini), sinetron ini dipuji. Yap, memang, ending sinetron ini tidak seperti kebanyakan sinetron yang si tokoh baik jadi pemenang, semua senang, dan semuanya hidup bahagia sampai akhir hayat. Endingnya, si Chelsea (Chelsea Olivia, anak SMP yang sering menyaru jadi anak kuliahan atau paling enggak anak SMU, penggantinya Leoni, namun inevitably, dinobatkan jadi ratunya sinetron jiplakan karena banyak dari sinetron do'i yang jiplakan) mati di bawah pohon cemara (pohon natal) pas pernikahannya. Clap clap clap, endingnya saudara-saudara, ternyata beda sama cerita aslinya. Tapi, tunggu sebentar, endingnya ternyata nyuplik, terinspirasi dari salah satu Dorama Jepang lainnya, yang jujur, satu dari sedikit sinetron Jepang yang saya ikuti, Kamisama (Kyoko Fukada, Takeshi Kaneshiro). Tsk tsk tsk. Lagi, you really had to give those producers an applaud. Their 'extensive' knowledge of 'other people's works' could really inspired them to made one hell of a masterpiece. I'm at loss for words at the moment. Let us take our hat off, bow down in pray, for our Cinema who has been 'alive' after the 90's hiatus, has once again, fell prey to the scythe of the Grim Reaper.
*fuhh fuhh capek nulis pake bahasa Indonesia yg baik dan benar*